a place where i have to go..

Di atas tanah selebar kira-kira dua are itu rumahku berdiri. satu lantai. bukan rumah yang cukup besar untuk tujuh orang anggota keluarga tanpa seorangpun yang pergi merantau keluar. cukup sederhana, bahkan terlalu sederhana untuk ukuran sebuah rumah keluarga. bentuk yang sepertinya ala kadarnya hanya karena tukang bangunan yang kurang tuntas mengerjakan segalanya membuat kami harus terima apapun kondisi yang ada. dinding masih belum diplester semua. bahkan plafon tak terpasang sejak rumah ini ditinggali. tanpa lantai keramik, hanya plastik yang memisahkan kaki-kaki kami dari beton fondasi rumah. dan jangan harap akan menemukan banyak saklar sekedar untuk menghidupkan lampu. kabel-kabel terpasang, tergantung, dan berjuntaian sedemikian rupa untuk mengalirkan listrik dan di ujungnyalah lampu terpasang, bisa tergantung, bisa tidak. cukup diputar maka akan ada sinar yang menerangi ruangan baik siang maupun malam. usianya yang sudah sepuluh tahun lebih membuat kami selalu kuatir saat hujan, seolah-olah air hujan yang jatuh dari bocornya atap genteng bisa melelehkan isi rumah kami :). ya, rumah ini bahkan menurutku masih kurang layak untuk ditinggali. tapi apa daya, hati sudah terlanjur terbiasa kecewa melihat segalanya berantakan. hampir tak bisa bedakan mana sampah, mana barang terpakai, bahkan mana yang justru barang berharga. dibuang sayang, dipelihara ogah-ogahan. terlalu banyak ‘personal meaning’ pada tiap barang. bahkan kertas-kertas bertuliskan tulisan pertama buatan adikku saat ia berumur tujuh tahun enggan dibuang. “ini untuk ibu,” kata adikku.

tapi di rumah inilah aku mendapatkan segalanya. di rumah inilah aku belajar untuk bebas bermimpi.

selalu ada alasan untuk kembali pulang. biarpun itu sekadar untuk tujuan cuci baju, tidur, atau kehabisan uang. tak pernah rumah ini kekurangan manusia sebagai penghuninya. kadang-kadang terisi penuh oleh seluruh anggota keluarga, dan tak jarang pula ada orang lain yang mengisi kamar tengah untuk numpang buat tugas, atau numpang tidur karena pulang terlalu malam. baginya tak ada rumah lain yang terbuka 24 jam untuk dijadikan tempat menginap saat terlalu malam pulang rapat atau alasan lainnya. lama-kelamaan makin sering dan makin banyak teman yang ingin menginap. kali ini bukan untuk tidur atau membuat tugas, tapi untuk menunggu pagi. hingga ikutlah aku terjaga hingga fajar untuk menghormati tamuku itu.

kata mereka, mereka ketagihan tinggal di rumah ini. kupikir ini basa-basi. jelas, sebagai ucapan terima kasih karena diizinkan untuk tinggal walaupun dengan struktur rumah yang agaknya sangat tak wajar untuk dibilang cukup memadai. kamar mandi saja pintunya hanya separo. tapi tampaknya mereka benar-benar ketagihan. tiap hari diskusi sampai pagi. atau hanya mengobrol di teras sampai tuan rumah terlihat menguap karena kantuk.

Jakarta, nun jauh dari asal.

dan kini, di perantauan, sepertinya aku mengerti maksud dari kalimat yang menurutku tadinya terkesan basa-basi itu. akulah yang kini mempunyai keadaan seperti tamu-tamu itu. tinggal selama beberapa hari lalu pergi lagi. aku sadar sejak aku pergi meninggalkan rumah aku tidak akan bisa kembali ke rumah itu seperti sebelum-sebelumnya. aku tidak akan bisa pulang dan menunggu pagi kapanpun yang aku mau. kini aku menjadi tamu di rumahku sendiri. tamu yang selalu rindu untuk berkunjung lagi. yang menanti cerita-cerita baru dari si pemilik rumah. potongan cerita yang tak pernah usai, yang selalu menyimpan tanda tanya. cerita yang dilihat, bukan didengar apalagi dibaca. terlalu banyak konflik terjadi setelah kepergianku dari rumah itu. hanya rumah itu yang bisa bercerita. hanya dia saksinya. dan aku tak akan pernah sanggup menterjemahkan bahasa yang digunakannya. enam belas tahun tinggal dalam rumah yang sama belum membuatku paham akan caranya berkomunikasi. mungkin aku yang salah, aku menyia-nyiakan enambelas tahunku untuk mendapat pengakuan dari luar, tapi lupa dengan asal-usulku sendiri. aku tahu ada yang salah dengan lingkunganku, dengan rumah ini maupun isinya. tapi aku pura-pura tak mengetahuinya. entah, seberapa dalam emosiku terlibat di dalamnya saat itu tapi seperti ada sesuatu yang ingin kuhindari dengan cara tidak ingin mengetahuinya sama sekali.
kata sahabatku, tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki–kusebut demikian karena aku sadar ini sudah jauh dari ancang-ancang untuk memulai lagi. aku inginkan cerita itu secara utuh. karena hanya dengan itulah aku tahu kenapa semua ini ada, semua ini terjadi. kenapa aku, dan rumah ini berbeda. mungkin mengumpulkan potongan-potongan cerita itulah yang tadi sempat membuat beberapa orang ketagihan tinggal di rumah ini. menarik untuk diteruskan. dan aku sudah kecanduan untuk mendapat potongan baru.

aku ingin pulang.
tak peduli akan jadi apakah aku di sana nanti, anak merantau yang baru pulang, tamu, atau penghuni baru?

Jakarta, Agustus 2009